Narasi Sejarah di Balik Patung Edward Colston

hamiltoncountymuseum.com

Kontestasi Narasi Sejarah di Balik Patung Edward Colston: Simbol Kedermawanan atau Jejak Kelam Perbudakan? – Kontestasi Narasi Sejarah di Balik Patung Edward Colston: Simbol Kedermawanan atau Jejak Kelam Perbudakan?

Gugurnya patung Edward Colston di Bristol, Inggris, pada 7 Juni 2020 oleh massa Black Lives Matter kembali menyalakan perdebatan lama tentang layak tidaknya sosok pedagang budak di abadikan dalam ruang publik. Momen ini menjadi titik penting dalam diskusi nasional Inggris mengenai memori sejarah, rasisme, dan siapa yang pantas dikenang dalam bentuk monumen.

Edward Colston: Filantropis atau Pedagang Budak?

Sebenarnya, keraguan terkait reputasi Colston bukan hal baru. Sejak 1920-an, masyarakat Bristol telah mempertanyakan apakah kedermawanan Colston cukup untuk menutupi masa lalunya dalam bisnis perdagangan manusia. Perdebatan meruncing kembali pada 1990-an setelah sejarawan dari University of West England, Prof. Madge Dresser, mengungkapkan kembali keterlibatan Colston dalam industri perbudakan Atlantik.

Sejarawan UGM, Budiawan, menjelaskan bahwa patung Colston memunculkan dualitas persepsi.

  • Bagi warga kulit putih Inggris, Colston di lihat sebagai dermawan yang mendirikan sekolah, gereja, dan berbagai yayasan.
  • Namun bagi komunitas kulit hitam, patung tersebut adalah pengingat menyakitkan akan masa lalu yang penuh kekerasan dan penindasan.

Keterlibatan Colston dalam Royal African Company

Colston bergabung dengan Royal African Company (RAC) pada 26 Maret 1680 dan kariernya terus menanjak hingga menjabat sebagai wakil gubernur pada 1689–1690. Melalui peran ini, Colston terlibat langsung dalam mekanisme dan logistik perdagangan budak.

RAC di perkirakan telah mengirim 19.000 hingga 84.000 orang Afrika—termasuk anak-anak—ke Amerika. Mereka dicap dengan inisial perusahaan, di angkut secara massal di ruang kapal sempit, tanpa sanitasi, dan sering kali tidak di beri ruang layak untuk sekadar bergerak. Kondisi memprihatinkan ini menyebabkan sekitar 10–20 persen di antara mereka meninggal selama perjalanan enam hingga delapan minggu.

Kekayaan yang kemudian Colston sumbangkan untuk kota Bristol sebagian besar bersumber dari praktik tidak manusiawi ini. Namun, bagi masyarakat Inggris era Victoria, sisi kelam tersebut di tekan demi mengagungkan perannya sebagai tokoh filantropi.

Akar Kontroversi: Monumen, Identitas Kota, dan Luka Sejarah

Walaupun banyak bangunan, sekolah, dan jalan di namai dari Colston, semakin banyak warga Bristol—terutama yang berasal dari Afrika dan Karibia—menilai bahwa monumen tersebut tidak merepresentasikan keragaman masyarakat masa kini.

Madge Dresser dalam tulisannya tahun 1998 menyebut bahwa citra Colston mulai terbuka setelah pameran besar tentang sejarah perbudakan Bristol. Keesokan harinya, patung Colston di coret cat merah bertuliskan “F—k off slave trader,” memicu perdebatan publik yang tajam.

Bagi pendukung Colston, monumen tersebut adalah bagian identitas kota. Namun bagi kelompok penentang, penghormatan terhadap pedagang budak adalah bentuk pengabaian terhadap ketidakadilan historis.

Ray Sefia, satu-satunya anggota Dewan Bristol berkulit hitam, bahkan menyamakan keberadaan patung Colston dengan keberadaan patung Hitler di ruang publik.

Seni, Media, dan Kajian Sejarah yang Memperluas Perdebatan

Berbagai seniman turut menyuarakan kritik terhadap glorifikasi Colston. Tahun 2007, patungnya di temukan dengan bercak merah menyerupai darah—yang di duga karya Banksy. Seniman Graeme Evelyn Morton juga pernah mengusulkan instalasi seni “The Two Coins” yang bertujuan mengontekstualisasikan sejarah Colston, namun di tolak oleh pemerintah kota.

Pada 2016, Bristol Institute for Research in the Humanities and Arts kembali membahas kontroversi ini dalam sebuah debat publik. BBC Radio Bristol pun membuka ruang diskusi kepada pendengarnya mengenai makna keberadaan patung Colston.

Sejarawan Olivette Otele menegaskan bahwa perdebatan tentang patung tersebut mencerminkan masalah rasial yang mengakar pada masyarakat Bristol, khususnya narasi “kita” versus “mereka”—di mana keturunan budak sering kali tidak di anggap bagian dari warga “asli”.

Puncak Kontroversi: Patung Di robohkan dan Di lempar ke Sungai

Aksi perobohan patung Colston oleh demonstran Black Lives Matter pada 7 Juni 2020 menjadi titik kulminasi dari konflik narasi sejarah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Bagi para demonstran, patung itu adalah simbol rasisme, kekerasan, dan eksploitasi. Sebaliknya, sebagian warga menganggap aksi itu sebagai tindakan kriminal.

Boris Johnson mengecam perobohan patung tersebut, sementara Wali Kota Bristol, Marvin Rees, menyatakan bahwa dirinya “tidak kehilangan apa pun” dengan hilangnya monumen kontroversial itu.

Empat hari kemudian, patung di angkat dari sungai oleh pemerintah kota dan di simpan di museum. Menariknya, grafiti yang di coretkan para demonstran sengaja di pertahankan sebagai bagian dari narasi sejarah baru, menunjukkan perubahan cara masyarakat memandang masa lalu.

Penutup: Patung Colston dan Pertarungan Narasi Sejarah

Kontroversi seputar patung Edward Colston menggambarkan bagaimana memori sejarah tidak pernah tunggal. Monumen dapat menjadi ruang pembelaan identitas bagi satu kelompok, sementara menjadi simbol kepedihan bagi kelompok lain. Perdebatan ini bukan sekadar tentang sebuah patung, tetapi tentang siapa yang layak di abadikan dan bagaimana masyarakat ingin mengingat masa lalu.