Menjaga Napas Sejarah Wayang

hamiltoncountymuseum.com

Sanggar GSA: Menjaga Napas Sejarah Wayang dan Gamelan di Malang – Sanggar GSA: Menjaga Napas Sejarah Wayang dan Gamelan di Malang

Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji (GSA) di Malang menjadi pusat pembelajaran dan pelestarian budaya Jawa, khususnya wayang dan gamelan, bagi anak-anak dan generasi muda. Melalui latihan rutin, pagelaran, dan kegiatan edukatif, sanggar ini berupaya mengenalkan dua kesenian tradisional yang kaya sejarah dan nilai filosofi.

Sejarah Wayang: Dari Relief Candi Hingga UNESCO

Wayang telah di kenal masyarakat Jawa sejak era Mataram Kuno. Relief pada Candi Borobudur dan Prambanan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sudah mengenal pementasan wayang dan instrumen musik tradisional sejak abad ke-9.

Bentuk wayang tertua di kenal sebagai Wayang Beber, sebelum berkembang menjadi Wayang Kulit, Wayang Golek, dan Wayang Orang. Cerita yang di bawakan sering bersumber dari Ramayana, Mahabharata, serta kisah Panji, yang sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan.

Baca juga : Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

Pada masa penyebaran Islam, Walisongo memanfaatkan wayang sebagai media dakwah. Sunan Kalijaga menyederhanakan bentuk wayang agar lebih simbolis, sekaligus menambahkan pesan moral dalam setiap lakon. Transformasi ini memastikan wayang tetap relevan hingga sekarang. Pada tahun 2003, UNESCO menetapkan wayang sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia.

Gamelan: Musik yang Menghidupkan Cerita

Gamelan berkembang sebagai pengiring utama pementasan wayang. Instrumen seperti gong, kenong, dan saron menciptakan ritme yang menandai suasana cerita. Harmoni gamelan mencerminkan nilai keseimbangan dalam budaya Jawa, sekaligus menjadi media belajar bagi anak-anak tentang kerjasama dan koordinasi dalam sebuah pertunjukan.

Pembelajaran di Sanggar Seni GSA

Di Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji (GSA), anak-anak tidak hanya belajar memainkan tokoh wayang atau menghafal dialog, tetapi juga memahami fungsi gamelan, peran dalang, dan makna setiap cerita. Setiap tokoh wayang memiliki karakter, simbol, dan nilai yang ingin di sampaikan kepada penonton.

Dengan pendekatan yang sederhana namun mendalam, anak-anak belajar bahwa wayang bukan sekadar hiburan, melainkan media pendidikan dan sarana penyampaian pesan moral yang telah di gunakan turun-temurun. Gamelan pun menjadi sarana edukasi yang menanamkan nilai kerjasama karena setiap instrumen harus di mainkan selaras untuk menciptakan harmoni.

Pementasan dan Pelestarian Tradisi

Sanggar GSA aktif mengadakan pementasan baik di kampus, festival budaya, maupun acara masyarakat.

Sanggar Seni Gumelaring Sasangka Aji mengajarkan keterampilan seni sekaligus menyampaikan warisan budaya Jawa.
GSA memastikan nilai sejarah tetap hidup di masyarakat dan menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap seni tradisional.

Dari Barikade Anti-Komunis

hamiltoncountymuseum.com

Menteng Raya 64: Dari Barikade Anti-Komunis hingga Garda Solidaritas Pandemi – Menteng Raya 64: Dari Barikade Anti-Komunis hingga Garda Solidaritas Pandemi

Sejarah tidak pernah benar-benar tidur. Ia tersimpan dalam nafas gedung-gedung tua, terpatri di dinding kelas, dan hidup dalam nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun. Jalan Menteng Raya 64, dengan Kolese Kanisius di dalamnya, bukan sekadar tempat menimba ilmu, melainkan saksi bisu—bahkan pelaku aktif—dari perjalanan sejarah Indonesia yang penuh gejolak dan perubahan.

Sejarah bukan hanya rangkaian tanggal dan peristiwa. Ia adalah cerminan respon manusia terhadap zamannya. Dalam perjalanan panjangnya, Kolese Kanisius membuktikan diri sebagai institusi yang tidak pernah menghindar dari panggilan sejarah. Dari gejolak politik tahun 1966 hingga krisis global akibat pandemi COVID-19, karakter “Kanisian” siswa dan alumni Kanisius diuji dan ditempa. Artikel ini menyoroti bagaimana semangat perlawanan masa lalu bertransformasi menjadi aksi kemanusiaan di era modern, membuktikan ketangguhan karakter lintas generasi.

Baca juga : Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

Kolese Kanisius dan Pergerakan 1966

Tahun 1965-1966 menandai masa kritis sekaligus titik balik bagi Indonesia. Saat ideologi komunis mengancam integritas bangsa dan kekacauan politik melanda, Kolese Kanisius tidak memilih menutup gerbangnya demi keamanan semata. Kompleks sekolah ini justru menjadi markas konsolidasi moral dan intelektual.

Gerakan mahasiswa KAMI dan pelajar KAPI menjadikan Menteng Raya 64 sebagai basis perjuangan strategis. Keberanian berarti keputusan moral untuk bertindak, bukan ketiadaan rasa takut, karena ada hal yang lebih penting dari ketakutan.

Peristiwa 1966 di Kanisius menjadi manifestasi nyata nilai conscience (hati nurani). Siswa dan alumni muda turun ke jalan bukan sekadar ikut arus, tetapi karena kesadaran bahwa bangsa dalam bahaya. Mereka meneriakkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi. Semangat anti-komunis saat itu sejatinya adalah semangat anti-tirani dan pro-kemanusiaan.

Menteng Raya 64 dalam Krisis Pandemi

Nilai kejuangan tahun 1966 terbukti relevan saat dunia dilanda pandemi COVID-19 pada 2020. Ancaman kini bukan ideologi atau rezim otoriter, melainkan virus tak kasat mata yang melumpuhkan kehidupan. Namun, Menteng Raya 64 menunjukkan “genetika” yang sama dengan masa lalu: Magis (selalu ingin melakukan lebih) dan Men for and with Others (menjadi manusia bagi dan bersama sesama).

Jika generasi sebelumnya berjuang menyelamatkan jiwa bangsa dari ideologi berbahaya, generasi sekarang menyelamatkan raga bangsa dari ancaman kesehatan. Karakter lintas generasi ini membuktikan pendidikan di Kanisius berhasil menanamkan nilai kepedulian yang adaptif.

Magis dalam Setiap Krisis

Nilai Magis dalam Pedagogi Ignasian mendorong Kanisian untuk bertanya, “Apa lebihnya yang bisa saya perbuat untuk masyarakat?”

Penutup

Sejarah Kolese Kanisius adalah sejarah keterlibatan. Ia adalah laboratorium karakter, gudang sejarah, dan simbol keberanian lintas generasi yang terus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Sejarah Bekas Bank Sentral Manchuria

Sejarah Bekas Bank Sentral Manchuria

Sejarah Bekas Bank Sentral Manchuria – Sejarah Bekas Bank Sentral Manchuria

Bangunan Bank Sentral Mnchuria berdiri megah di alun-alun rakyak Changchun dengan luas mencapai 26.000 meter persegi, lengkap dengan fasilitas pendukung seperti pabrik percetakan, garasi, dan gudang. Struktur ini bagaikan lembaran seharah yang membeku, merekam perjalanan panjang Tiongkok Timur Laut dari masa kolonial penuh kekerasan, perjuangan berdarah, hingga era kebangkitan dan pembangunan nasional.

Baca juga : Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

Awalnya, gedung ini berfungsi sebagai pusat keuangan bagi penjajah Jepang, namun seiring waktu, bangunan ini bertransformasi menjadi simbol kekuatan ekonomi rakyat. Kini, bekas Bank Sentral Manchuria di gunakan oleh Bank Komersial dan Industri Tiongkok (ICBC), melanjutkan peranannya sebagai institusi keuangan penting di era modern.

Saksi Pembebasan Changchun

Selama Perang Pembebasan Asia Timur Laut, gedung ini menjadi saksi mata momen-momen penting pembebasan Changchun.

Sejarah mencatat bahwa setelah 1951, Renminbi di gunakan di seluruh wilayah Timur Laut.
Perintah Penyeragaman Mata Uang mengatur penggunaan tersebut di dalam dan luar Shanhaiguan.
Bank Umum Timur Laut kemudian berubah menjadi Kantor Wilayah Timur Laut Bank Rakyat Tiongkok.
Kantor cabang di gedung ini menjadi Kantor Cabang Changchun Bank Rakyat Tiongkok.

Sejak 1954, gedung ini di kelola oleh Kantor Pusat Bank Rakyat Tiongkok.
Gedung tersebut terus menjalankan fungsi keuangan hingga sekarang.
Perannya mendukung pembangunan ekonomi dan sosialisme di Tiongkok.

Transformasi dan Fungsi Modern

Sepanjang lebih dari satu abad, gedung bekas Bank Sentral Manchuria telah mengalami berbagai transformasi. Dari simbol kolonialisme hingga menjadi pilar keuangan nasional, bangunan ini mencerminkan dinamika sejarah yang kompleks: luka masa lalu sekaligus harapan untuk masa depan.

Hari ini, ICBC memanfaatkan gedung bersejarah ini sebagai kantor modern, namun aura masa lalunya tetap terasa. Setiap ruang, dinding, dan fasad bangunan mengisyaratkan cerita panjang—dari perampasan kolonial, pengaturan mata uang, hingga kebangkitan ekonomi Changchun di bawah kendali rakyat Tiongkok.

Gedung yang Menjadi Jejak Sejarah

Bekas Bank Sentral Manchuria bukan sekadar gedung tua, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah Tiongkok Timur Laut. Dari masa penjajahan, perjuangan, hingga era pembangunan ekonomi modern, gedung ini mengingatkan kita bahwa transformasi sosial dan politik selalu tertaut dengan ruang dan arsitektur. Keberadaan gedung ini hari ini menghubungkan masa lalu yang penuh tantangan dengan masa kini yang lebih stabil dan produktif.

Gedung Bekas Bank Sentral Manchuria menjadi ikon sejarah dan simbol kesinambungan ekonomi.
Bangunan ini menunjukkan bagaimana arsitektur dapat menuturkan cerita panjang bangsa.

Melintasi Waktu dengan Harmoni

hamiltoncountymuseum.com

Melintasi Waktu dengan Harmoni: Gamelan Austria-Indonesia Menyulam Cerita Hindia-Belanda – Melintasi Waktu dengan Harmoni: Gamelan Austria-Indonesia Menyulam Cerita Hindia-Belanda

Suasana malam di Teater Taman Ismail Marzuki (TIM) terasa magis dan sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dari luar, gedung tampak tenang, namun di dalam, harmoni lintas benua menggetarkan setiap sudut ruangan. Gamelan Jawa berpadu dengan vokal khas Eropa, disertai cahaya temaram dan bayangan hitam putih yang menampilkan potret masa kolonial Hindia-Belanda.

Pertunjukan bertajuk Gamelan Austria-Indonesia ini dipersembahkan oleh Marten Schmidt, seniman berdarah Austria-Indonesia, yang menuturkan kisah kakek buyutnya—seorang saksi kehidupan pada era Hindia-Belanda sekitar tahun 1934. Melalui musik dan visual, pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, tetapi perjalanan batin yang membawa penonton menembus batas waktu dan ruang.

Baca juga : Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

Ruang yang Terisi Nada

Begitu gong pertama di ketuk, udara di ruangan seakan menebal. Getarannya merambat melalui lantai, menyentuh dada setiap penonton. Aroma kayu dari gamelan berpadu dengan udara lembap Jakarta, menciptakan kehangatan yang akrab, seperti wangi hujan sore.

Di layar, tampak potret masa lalu: anak-anak berlarian, perempuan membawa bakul di pasar, dan lelaki bersarung menatap kamera lama. Semua menyatu dengan irama gamelan yang mengalun pelan di bawah cahaya temaram.

Dari sisi panggung, Anna Anderluh, vokalis asal Austria, menyanyikan nada panjang yang lembut. Suaranya seperti kabut yang menyelimuti ruang, mengisi sela bunyi saron dan kendang, membentuk jembatan antara Barat dan Timur, masa kini dan masa silam.
“Saya merasa tidak sedang bernyanyi,” ujar Anna Anderluh usai pertunjukan. “Saya seperti sedang berdoa bersama bunyi gamelan. Ia mengajarkan bahwa diam pun bisa berbicara.”

Nada yang Mengandung Kenangan

Kolaborasi lintas budaya ini tak hanya menghadirkan musik yang indah, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang sejarah dan identitas. Xin Wei Thow, seniman gamelan berdarah Jerman-Singapura, memainkan alat musiknya dengan kesadaran penuh, seolah berbicara kepada setiap denting.
“Gamelan bukan sekadar alat musik,” ucapnya. “Ia adalah wadah kenangan. Setiap suara mengandung napas masa lalu sekaligus harapan masa depan.”

Suara gamelan berpadu harmonis dengan sentuhan jazz lembut. Bayangan musisi Solo memainkan kendang dan bonang dengan penuh ketelitian, menjadikan panggung sebagai ruang lintas waktu, di mana sejarah, tradisi, dan inovasi bertemu tanpa saling meniadakan.

Penonton Terhanyut dalam Waktu

Banyak penonton larut dalam keheningan, menunduk menikmati setiap nada. Lampu keemasan memantulkan kilau air mata seorang mahasiswi seni di barisan tengah. Seorang mahasiswa menuturkan dengan suara bergetar usai pertunjukan:
“Pancaindra saya bekerja, bahkan terasa waktu melambat. Ini seperti membaca sejarah, tetapi dengan perasaan. Gamelan malam ini bukan sekadar bunyi, tetapi sebuah rasa—rasa yang menembus jiwa.”

Kisah yang Abadi

Di akhir pertunjukan, tepuk tangan bergemuruh panjang, namun lembut—lebih sebagai ungkapan syukur daripada euforia. Lampu panggung perlahan padam, meninggalkan bayangan para seniman yang saling membungkuk dalam penghormatan.

Saat penonton keluar, udara malam di halaman TIM terasa tenang. Gema gamelan masih menggantung di langit Jakarta—halus, samar, namun hangat. Malam itu, sejarah seakan berbicara melalui bunyi, cahaya, dan rasa.

Pertunjukan ini bukan hanya kolaborasi antarnegara, tetapi juga dialog antara waktu, ruang, dan pengalaman. Gamelan menjadi jembatan antara masa lalu dan kini, Timur dan Barat, bunyi dan kenangan. Di tangan para seniman lintas budaya, sejarah bukan sekadar di ceritakan, tetapi di hidupkan kembali.

Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

hamiltoncountymuseum.com

Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting – Makna Kepahlawanan dalam Pameran Sunting

Sejak awal abad ke 8  hingga ke 19, perempuan nusantara telah memainkan peran penting dalam sejarah, mulai dari ruang istana, medan perang, geladak kapal, hingga lembaran naskah. Mereka bukan hanya pendamping kekuasaan, tetapi juga pelaku utama yang mengubah arah sejarah bangsa.

Dalam rangka memperingati hari Kartini, museum Nasional membuka pameran ” Sunting Jejak Perempuan Penggerak Perubahan”. Pameran ini mengangkat tema literasi perempuan, terinspirasi dari rohana kudus, tokoh pers perempuan pertama di Indonesia dan pendiri surat kabar Sunting Melayu pada tahun 1912.

Refleksi Kepahlawanan Perempuan

Setiap benda yang di pamerkan, mulai dari pakaian, surat kabar, hingga alat kerja, menjadi saksi bisu perjuangan perempuan yang memberntuk sejarah bangsa. Sayangnya, hanya sedikit dari tokoh perempuan ini yang  menerima gelar Pahlawan Nasional. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menganugrahkan gelar tesebut kepada 10 Pahlawan, namun hanya dua diantaranya perempuan,yaitu Hajjiah Rahmah El Yunusiyah dan Marsinah.

Tokoh-tokoh lain sepertiJohanna Masdani, Sariamin Ismail, dan Ny. Sukonto justru kurang di kenal karena narai sejarah lebih menekankan perjuangan fisik dan militer. Hal ini menunjukkan bias dalam sejarah yang mengagungkan tokoh laki-laki sebagai simbol heroik.

Menggugat Definisi Kepahlawanan

Proses penetapan gelar Pahlawan Nasional memunculkan pertanyaan mengenai bias struktural. Apakah perjuangan perempuan di bidang pendidikan, literasi, dan sosial di anggap kurang heroik karena tidak melibatkan perang dan senjata? JIka memang demikian, definisi kepahlawanan perlu di kaji ulang agar mencangkup seluruh bentuk konstribusi bagi bangsa.

Pameran sunting hadir unutk menyusun ulang narasi sejarah dari perspektif perempuan. cerita dan konstribusi mereka yang sering tersembunyi kini mendapat penghargaan layak.

Pameran ini juga membuka ruang dialog mengenai perjuangan perempuan, sekaligus menanamkan nilai edukatif bagi generasi muda tentang peran penting perempuan dalam sejarah Indonesia.

Pentingnya Pengakuan yang Adil

Dengan menyoroti jejak perjuangan perempuan, Pameran Sunting menunjukkan bahwa kepahlawanan memiliki banyak bentuk.
Kontribusi perempuan dalam pendidikan, literasi, dan pembangunan sosial juga layak dihargai.
Pameran ini memberi ruang bagi jasa perempuan yang sering terabaikan.
Melalui pameran tersebut, peran perempuan mendapat pengakuan lebih adil dalam sejarah nasional.

Pameran Sunting menjadi media untuk memulihkan ingatan kolektif bangsa.
Pameran ini menyeimbangkan narasi sejarah yang lama didominasi perspektif maskulin.
Kehadiran pameran ini menginspirasi generasi muda untuk menghargai perjuangan perempuan Indonesia.